Kamis, 30 Oktober 2014

politik memang menggelitik

Saya di Tengah Paradoks

 
 
 
 
 
 
Rate This


Seharusnya saya sudah tidur saat ini. Ya, jam dinding di ibu kota sudah tidak lagi menunjukkan tengah malam, tetapi telah jam tiga kurang seperempat. Ketahuilah, bahwa yang memaksa saya terjaga hingga saat ini dan memaksakan diri dan jari-jari mengetik kata dari dalam hati adalah akibat kebiasaan kita para makhluk sosial yang rutin mengecek gadget alat telekomunikasi sebelum benar-benar memejamkan mata. Ah, ternyata ada pasal yang membuat saya mengurungkan niat untuk tidur, bahkan kehilangan minat untuk itu.
Anda mungkin menebak saya hendak curhat tentang sedih hati terhadap seorang laki-laki. Yah, untuk saat ini belum tepat. Karena yang saya baca barusan adalah sebuah lelucon yang dilemparkan di grup whatsapp beranggotakan sesama mahasiswa Manajemen Komunikasi UI angkatan 2013. Yang mengirimkan pesan bernada humor itu adalah seorang kawan yang saat ini tengah berbahagia atas kelahiran putera pertamanya. Dan humor ini bukan tentang pengalamannya menjadi seorang ibu muda, tetapi tentang ‘saya’. Begini isi pesan itu:

“Ini joke tapi cukup ‘serius’ di antara para dosen. Dosen senior ngomong ke dosen baru; Jangan takut sama mahasiswa/i yang nilainya A dan A+, karena mereka nanti akan menjadi teman sejawat. Tapi berbaik-baiklah sama mahasiswa/i yang nilainya rata-rata B karena mereka biasanya jadi pengusaha besar atau menjadi menteri dan dirjen dan memberi kita proyek. Dan awas serta takutlah sama mahasiswa yang rata-rata nilainya C dan D karena mereka nanti aktif di parpol atau anggota DPR dan merekalah yang menentukan nasib kita dan bangsa kita ini.”
Well, memang agak berlebihan jika saya katakan lelucon ini tentang diri saya. Tetapi yang dimaksud dengan ‘saya’ adalah entitas saya sebagai manusia politik dan aktivis politik yang sedang menimba ilmu komunikasi politik strata dua. Jujur, saya merasa tersentil tetapi yang lebih membuat saya tidak jadi memejamkan mata karena saya tak henti bertanya; apakah nyatanya kita ternyata memang mengakui panggung-panggung politik, partai politik, dan parlemen diisi oleh orang-orang yang boleh dikatakan tak cakap, tak memiliki nilai baik secara akademik?
Kita mengakui atau membiarkan?
Jika boleh pamer sedikit dan membuka hasil kredit semester saya yang lalu, tidak ada tercantum huruf C apalagi D. Saya memang berharap bisa menjadi dosen kelak, tetapi saat ini yang tengah saya jalani adalah aktivitas sebagai kader parpol dan dalam perjuangan untuk menjadi anggota parlemen. Tetapi jika joke di atas menjadi santapan para intelektual, saya menjadi tergelitik untuk bertanya; apakah kaum intelektual terlebih intelektual politik memang memilih untuk tidak masuk sebagai praktisi politik dan menjadi penentu kebijakan, lebih bersedia sebagai tim ahli dan konsultan alih-alih menjadi pembuat undang-undang itu sendiri?
Bagi saya, ini sama halnya dengan kondisi psikologis masyarakat kita saat ini yang akut ketika tahun pemilu. Masyarakat benar-benar mengutuki tindak korupsi, membuat berbagai lelucon tentang pelakunya dan parpolnya. Tetapi ketika ada politik uang, hal tersebut tetap diterima sebagai sesuatu hal yang niscaya. Menjadikan proposal beredar deras semasa kampanye ini hal biasa, padahal tak semua hal tentang menjadi calon anggota legislatif itu mengenai uang dan bantuan sesaat. Seperti satu kicauan di twitter yang saya baca kemarin pagi, bahwa masyarakat mengutuk korupsi para elit, tapi juga tak terjepit lidahnya meminta angpao, dan mendiamkan caleg berkualitas yang minus modal ‘mati’ terkapar dengan tak ada keinginan untuk mendukung mereka.
Lalu, mau kita sebut apa dua kondisi yang serupa tapi tak sama di atas itu? Menikmati hidup dalam paradoks, atau sengaja memelihara sifat hipokrit agar tulisan Mochtar Lubis tentang sifat dasar manusia Indonesia tetap berlaku?
Kita para intelektual dan para akademisi tahu persis bahwa panggung politik itu memang dipenuhi oleh orang-orang yang hanya mendapatkan nilai C atau D alias failed grade, tapi kita tak pernah mau mengisi ruang-ruang yang penuh dengan ‘malpraktik’ tersebut dengan diri kita yang bernilai A atau A+. Emoh atau pembiaran? Baik, katakanlah saja enggan terlibat dalam pusaran arus kotor politik. Ah, teringat tadi seorang abang saya berkata bahwa di universitas di Malaysia tidak ada jurusan ilmu politik, tak seperti di Indonesia. Lalu entah buat apa kita begitu terbuka terhadap ilmu politik ini jika intelektualnya sendiri tak mau berpolitik dan membenahi kondisi semrawut politik negeri? Ataukah kita memang benar-benar harus memisahkan, pihak mana yang harus berteori, dan pihak mana yang harus berpraktek?
Seringkali saya bersirobok dengan orang yang mengomentari sikap saya yang sesungguhnya saya bawa dari organisasi politik saya. Pihak-pihak tersebut mengambil contoh keriuhan politik yang terjadi pada masa Soekarno, ketika politik menjadi manifesto jalannya kehidupan bernegara bak garis haluan. Masyarakat secara sadar ikut menjadi anggota parpol dan proses internalisasi ideologi berjalan melalui pengkaderan yang masif. Dari level sekolah menengah atas, kampus, hingga profesi memiliki wadahnya dalam gerakan politik. Tetapi yang tak luput dan mencoreng adalah tingginya gesekan horizontal yang terjadi di masyarakat. Bahkan dalam sebuah tulisan Pipit Rochijat bertajuk Aku PKI atau Bukan PKI, menggambarkan benar bagaimana perbedaan warna parpol sudah memecah-belah bangunan sosial, bahkan sejak dari bangku SMA.  Lalu bagaimana pula jika setiap orang terlebih kaum intelektual mesti bergabung menjadi anggota parpol? Apakah yang awalnya percekcokan ide akademis dapat merembet-rember menjadi percekcokan warna parpol dan ideologi? Kira-kira masih relevankah tindakan dan ‘kondisi’ itu pada masa kini?
Pernah pula suatu kali dosen berkata di kelas kepada saya, bahwa saya sebagai politisi muda yang masuk ke dalam dunia politik, ibarat susu murni yang putih dan ingin memutihkan kopi yang pekat. Tapi apa yang terjadi, bukan membuat kopi menjadi putih tetapi malah larut dalam warna yang abu-abu. Nantinya politisi muda idealis akan tersandung atau terikut pusaran keruwetan itu. Saat itu saya hanya terpekur dan tersenyum penuh hormat, karena saya memang sangat menghormati beliau. Tetapi pada satu ruang lain di dalam hati dan pikiran saya, bagaimana pun masa depan, saya memantapkan bahwa inilah perjuangan saya. Saya berani mengambil sikap untuk menjadi susu yang rela ditumpahkan untuk membubarkan kepekatan hitamnya kopi. Paling tidak, saya menyatakan sikap dan keberpihakan alih-alih hanya terdiam tak mau ikut campur, mengutuki pahit pekatnya kopi sembari diam-diam mengagumi diri yang putih suci seperti susu.
Caleg seperti saya ini jumlahnya cukup banyak. Berani bertaruh, berkat kehadiran Liga Mahasiswa NasDem dan kesadaran organisasi kepemudaan di banyak parpol yang semakin masif, maka jumlah calon legislatif dari kalangan pemuda mahasiswa untuk pemilu kali ini lebih banyak dari pemilu terdahulu. Konsekuensinya adalah itu tadi; ketiadaan modal kapital yang menjadi fardhu ‘ain dalam politik mahal masa kini. Tapi, melalui tulisan ini pula saya ingin menyatakan rasa bangga dan salut, melihat perjuangan rekan separtai sesama aktivis mahasiswa, juga rekan pemuda mahasiswa dari parpol lain yang berjuang dalam kekayaan modal sosial.
Terlebih lagi Liga Mahasiswa NasDem, organisasi ini memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi aktivis mahasiswa untuk tidak lagi hidup dalam mitos parlemen jalanan. Dari sana, saya dan kawan-kawan memiliki keyakinan untuk masuk ke dunia politik untuk bisa merebut peran sebagai penentu kebijakan, jika yang dirasakan selama ini hanya diisi oleh orang untuk mengamankan kepentingan. Saya rasa, ideolog sekaligus ketua umum kami benar adanya. Ia tak ingin kaum intelektual dan aktivis mahasiswa menjadi makhluk politik yang setengah-setengah. Untuk itulah, semboyan Liga Mahasiswa NasDem yang pertama dan terlebih dahulu adalah; Belajar.
Melalui sikap politik dan pendirian serta pilihan saya ini, saya tak ingin hidup dan terjebak dalam paradoks terlebih lagi kepura-puraan. Saya tak ingin bernasib seperti joker dalam Misteri Soliter cerita Jostein Gaarder. Joker memang sungguh piawai, lihai, dan mampu bertahan dalam segala kondisi perperangan, ia bisa menjadi apapun; penasihat, penyerang, raja, atau hanya serdadu. Tapi ia tak bisa menetapkan pilihannya sebagai satu karakter saja. Sungguh karakter joker adalah karakter yang aman dari coreng malu kekalahan perang, tetapi ia bukanlah pembuat keputusan, ia bukan panglima perang, ia hanyalah pelaksana, menjadi apapun yang diinginkan oleh sang pembuat kebijakan. Paradoksal joker akibat keadaan, karena begitulah ia ditakdirkan. Tapi toh, saya dan Anda adalah manusia, paradoks itu kita yang menciptakan, karena tak mampu mengambil sikap, dan terjebak dalam kutukan sendiri terhadap kondisi.
Jakarta, 02 April 2014

About Fanny Yulia

Hanya seorang manusia yang terus mencari tahu apa yang seharusnya diperbuat untuk menjadi satu inti atom dari benda yang bernama ‘perubahan.’ Ibarat alam terhampar menjadi guru. Dan saya hanya berangkat dari ketidaktahuan, semoga semua ion perubahan (baca: setiap orang) dapat berbagi ilmu dan cerita, bersedekah saran dan pengalaman, serta bermurah kritik dan masukan. Nan satitiak jadikan lawik, nan sakapa jadikan gunuang, pepatah dari bumi tempat saya lahir. Yang berarti, sedikitpun itu yang didapat, sekiranya bisa diambil untuk kebaikan.

Berikan komentar

Follow

Get every new post delivered to your Inbox.
Join 943 other followers

politik menggelitik

sama  dgn  note  sy  sebelumnya , bhwa  tulisan  ini  jg  sdh  lama tersimpan dlm  file  sy  namun  hari  ini  mgkn  saat  yg  tepat  utk  sy  share  di wall bernama  pesbuk ini . Sebuah  tulisan  seorg  Mahasiswi  sekaligus seorg  aktivis. Sprti  apa  kisahnya  ... yuukkk , baca sampe akhir


Seharusnya saya sudah tidur saat ini. Ya, jam dinding di ibu kota sudah tidak lagi menunjukkan tengah malam, tetapi telah jam tiga kurang seperempat. Ketahuilah, bahwa yang memaksa saya terjaga hingga saat ini dan memaksakan diri dan jari-jari mengetik kata dari dalam hati adalah akibat kebiasaan kita para makhluk sosial yang rutin mengecek gadget alat telekomunikasi sebelum benar-benar memejamkan mata.


 Anda mungkin menebak saya hendak curhat  tentang sedih hati terhadap seorang laki-laki. Yah, untuk saat ini belum tepat. Karena yang saya baca barusan adalah sebuah lelucon yang dilemparkan di grup whatsapp beranggotakan sesama mahasiswa Manajemen Komunikasi UI angkatan 2013. Yang mengirimkan pesan bernada humor itu adalah seorang kawan yang saat ini tengah berbahagia atas kelahiran putera pertamanya. Dan humor ini bukan tentang pengalamannya menjadi seorang ibu muda, tetapi tentang ‘saya’. Begini isi pesan itu:


“Ini joke tapi cukup ‘serius’ di antara para dosen. Dosen senior ngomong ke dosen baru;


Jangan takut sama mahasiswa/i yang nilainya A dan A+, karena mereka nanti akan menjadi teman sejawat. Tapi berbaik-baiklah sama mahasiswa/i yang nilainya rata-rata B karena mereka biasanya jadi pengusaha besar atau menjadi menteri dan dirjen dan memberi kita proyek. Dan awas serta takutlah sama mahasiswa yang rata-rata nilainya C dan D karena mereka nanti aktif di parpol atau anggota DPR dan merekalah yang menentukan nasib kita dan bangsa kita ini.”



Well, memang agak berlebihan jika saya katakan lelucon ini tentang diri saya. Tetapi yang dimaksud dengan ‘saya’ adalah entitas saya sebagai manusia politik dan aktivis politik yang sedang menimba ilmu komunikasi politik strata dua. Jujur, saya merasa tersentil tetapi yang lebih membuat saya tidak jadi memejamkan mata karena saya tak henti bertanya; apakah nyatanya kita ternyata memang mengakui panggung-panggung politik, partai politik, dan parlemen diisi oleh orang-orang yang boleh dikatakan tak cakap, tak memiliki nilai baik secara akademik ?  Kita mengakui atau membiarkan?


Jika boleh pamer sedikit dan membuka hasil kredit semester saya yang lalu, tidak ada tercantum huruf C apalagi D. Saya memang berharap bisa menjadi dosen kelak, tetapi saat ini yang tengah saya jalani adalah aktivitas sebagai kader parpol dan dalam perjuangan untuk menjadi anggota parlemen.


Tetapi jika joke di atas menjadi santapan para intelektual, saya menjadi tergelitik untuk bertanya; apakah kaum intelektual terlebih intelektual politik memang memilih untuk tidak masuk sebagai praktisi politik dan menjadi penentu kebijakan, lebih bersedia sebagai tim ahli dan konsultan alih-alih menjadi pembuat undang-undang itu sendiri?


Bagi saya, ini sama halnya dengan kondisi psikologis masyarakat kita saat ini yang akut ketika tahun pemilu. Masyarakat benar-benar mengutuki tindak korupsi, membuat berbagai lelucon tentang pelakunya dan parpolnya. Tetapi ketika ada politik uang, hal tersebut tetap diterima sebagai sesuatu hal yang niscaya.


Menjadikan proposal beredar deras semasa kampanye ini hal biasa, padahal tak semua hal tentang menjadi calon anggota legislatif itu mengenai uang dan bantuan sesaat. Seperti satu kicauan di twitter yang saya baca kemarin pagi, bahwa masyarakat mengutuk korupsi para elit, tapi juga tak terjepit lidahnya meminta angpao, dan mendiamkan caleg berkualitas yang minus modal ‘mati’ terkapar dengan tak ada keinginan untuk mendukung mereka.



Lalu, mau kita sebut apa dua kondisi yang serupa tapi tak sama di atas itu? Menikmati hidup dalam paradoks, atau sengaja memelihara sifat hipokrit agar tulisan Mochtar Lubis tentang sifat dasar manusia Indonesia tetap berlaku?


Kita para intelektual dan para akademisi tahu persis bahwa panggung politik itu memang dipenuhi oleh orang-orang yang hanya mendapatkan nilai C atau D alias failed grade, tapi kita tak pernah mau mengisi ruang-ruang yang penuh dengan ‘malpraktik’ tersebut dengan diri kita yang bernilai A atau A+.


Emoh atau pembiaran? Baik, katakanlah saja enggan terlibat dalam pusaran arus kotor politik. Ah, teringat tadi seorang abang saya berkata bahwa di universitas di Malaysia tidak ada jurusan ilmu politik, tak seperti di Indonesia. Lalu entah buat apa kita begitu terbuka terhadap ilmu politik ini jika intelektualnya sendiri tak mau berpolitik dan membenahi kondisi semrawut politik negeri? Ataukah kita memang benar-benar harus memisahkan, pihak mana yang harus berteori, dan pihak mana yang harus berpraktek?



Seringkali saya bersirobok dengan orang yang mengomentari sikap saya yang sesungguhnya saya bawa dari organisasi politik saya. Pihak-pihak tersebut mengambil contoh keriuhan politik yang terjadi pada masa Soekarno, ketika politik menjadi manifesto jalannya kehidupan bernegara bak garis haluan.


Masyarakat secara sadar ikut menjadi anggota parpol dan proses internalisasi ideologi berjalan melalui pengkaderan yang masif. Dari level sekolah menengah atas, kampus, hingga profesi memiliki wadahnya dalam gerakan politik. Tetapi yang tak luput dan mencoreng adalah tingginya gesekan horizontal yang terjadi di masyarakat.


Bahkan dalam sebuah tulisan Pipit Rochijat bertajuk Aku PKI atau Bukan PKI, menggambarkan benar bagaimana perbedaan warna parpol sudah memecah-belah bangunan sosial, bahkan sejak dari bangku SMA.  Lalu bagaimana pula jika setiap orang terlebih kaum intelektual mesti bergabung menjadi anggota parpol? Apakah yang awalnya percekcokan ide akademis dapat merembet-rember menjadi percekcokan warna parpol dan ideologi? Kira-kira masih relevankah tindakan dan ‘kondisi’ itu pada masa kini?



Pernah pula suatu kali dosen berkata di kelas kepada saya, bahwa saya sebagai politisi muda yang masuk ke dalam dunia politik, ibarat susu murni yang putih dan ingin memutihkan kopi yang pekat.Tapi apa yang terjadi, bukan membuat kopi menjadi putih tetapi malah larut dalam warna yang abu-abu.


Nantinya politisi muda idealis akan tersandung atau terikut pusaran keruwetan itu. Saat itu saya hanya terpekur dan tersenyum penuh hormat, karena saya memang sangat menghormati beliau.


Tetapi pada satu ruang lain di dalam hati dan pikiran saya, bagaimana pun masa depan, saya memantapkan bahwa inilah perjuangan saya. Saya berani mengambil sikap untuk menjadi susu yang rela ditumpahkan untuk membubarkan kepekatan hitamnya kopi. Paling tidak, saya menyatakan sikap dan keberpihakan alih-alih hanya terdiam tak mau ikut campur, mengutuki pahit pekatnya kopi sembari diam-diam mengagumi diri yang putih suci seperti susu.


Caleg seperti saya ini jumlahnya cukup banyak. Berani bertaruh, berkat kehadiran Liga Mahasiswa NasDem dan kesadaran organisasi kepemudaan di banyak parpol yang semakin masif, maka jumlah calon legislatif dari kalangan pemuda mahasiswa untuk pemilu kali ini lebih banyak dari pemilu terdahulu.



Konsekuensinya adalah itu tadi; ketiadaan modal kapital yang menjadi fardhu ‘ain dalam politik mahal masa kini. Tapi, melalui tulisan ini pula saya ingin menyatakan rasa bangga dan salut, melihat perjuangan rekan separtai sesama aktivis mahasiswa, juga rekan pemuda mahasiswa dari parpol lain yang berjuang dalam kekayaan modal sosial.



Terlebih lagi Liga Mahasiswa NasDem, organisasi ini memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi aktivis mahasiswa untuk tidak lagi hidup dalam mitos parlemen jalanan. Dari sana, saya dan kawan-kawan memiliki keyakinan untuk masuk ke dunia politik untuk bisa merebut peran sebagai penentu kebijakan, jika yang dirasakan selama ini hanya diisi oleh orang untuk mengamankan kepentingan. Saya rasa, ideolog sekaligus ketua umum kami benar adanya.


Ia tak ingin kaum intelektual dan aktivis mahasiswa menjadi makhluk politik yang setengah-setengah. Untuk itulah, semboyan Liga Mahasiswa NasDem yang pertama dan terlebih dahulu adalah; Belajar.


Melalui sikap politik dan pendirian serta pilihan saya ini, saya tak ingin hidup dan terjebak dalam paradoks terlebih lagi kepura-puraan. Saya tak ingin bernasib seperti joker dalam Misteri Soliter cerita Jostein Gaarder. Joker memang sungguh piawai, lihai, dan mampu bertahan dalam segala kondisi perperangan, ia bisa menjadi apapun; penasihat, penyerang, raja, atau hanya serdadu.


Tapi ia tak bisa menetapkan pilihannya sebagai satu karakter saja. Sungguh karakter joker adalah karakter yang aman dari coreng malu kekalahan perang, tetapi ia bukanlah pembuat keputusan, ia bukan panglima perang, ia hanyalah pelaksana, menjadi apapun yang diinginkan oleh sang pembuat kebijakan. Paradoksal joker akibat keadaan, karena begitulah ia ditakdirkan. Tapi toh, saya dan Anda adalah manusia, paradoks itu kita yang menciptakan, karena tak mampu mengambil sikap, dan terjebak dalam kutukan sendiri terhadap kondisi.
Jakarta, 02 April 2014

Vistanaya Ocha On Air