Makna dan Fungsi Partai Politik Kini
Partai politik
dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang
sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam
Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia). Dilihat
dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur penting yang ada dalam
partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara mereka hingga
terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita,
tujuan dan kebijaksanaan yang sama.
Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:
Pertama,
partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka
ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan
kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation).
Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau
usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan
kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.
Kedua,
partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap,
pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian,
peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.
Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan
nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai
politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.
Ketiga,
partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik
berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai.
Keempat,
partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah masyarakat
terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk
mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk
kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan
umum.
Belajar dari Realitas Partai
Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Tapi, sungguh ironis, Islam malah dipinggirkan. Mengapa?
Pertama,
partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular dan kebangsaan.
Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah aturan-aturan sisa
peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang dipraktekkan pun
ekonomi Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan kesenjangan yang
hebat antara kaya dengan miskin. Kekayaan alam milik rakyat pun
dibiarkan dikuasai asing dan para saudagar dalam negeri. Semuanya legal
karena ditopang oleh perundang-undangan yang dibuat oleh wakil-wakil
partai-partai tersebut yang duduk di parlemen.
Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.”
Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika
ramai membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian
menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”, “Kembali kepada Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum masing-masing’. Sikap demikian membuat umat menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang menamakan partai Islam dengan partai lainnya.
Ketiga,
partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi pemenangan Pemilu.
Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang Pemilu.
Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang aktif.
Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk
menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada
penyelesaian.
Keempat,
tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan perubahan di
tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun, jalannya
dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara partai
Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai kristen
yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang syariah’.
Kalaupun menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas apa
maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya
antara partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.
Kelima,
tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya. Ikatan yang
ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh
partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.
Keenam,
perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan partai Islam
sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang ‘tidak jelas asalnya’,
juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti akan
dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini menambah
pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai Islam
dengan partai bukan Islam.
Inilah beberapa
penyebab kegagalan partai, khususnya partai Islam. Karenanya, siapapun
harus belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.
Memaknai Partai Politik Islam
Pengertian dan
fungsi partai politik yang disampaikan di muka sangatlah umum. Visi dan
misinya amat terbuka, bisa berdasarkan Sekular-Kapitalis,
Sosialis/Komunis, atau Islam. Lalu, bagaimana cara untuk mewujudkan
partai yang benar?
Terlebih dahulu, penting untuk didudukkan apa hakikat partai politik (hizbun siyasiy) dalam sudut pandang Islam. Secara bahasa, kata hizb dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya, Imam Jalalain dalam memaknai kata ’hizb (hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan Mujadilah ayat 22 sebagai atba’uhu (pengikutnya) serta orang-orang yang mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam kamus Al-Muhit, disebutkan: “Sesungguhnya
partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang dengan pengikut
dan pendukungnya yang punya satu pandangan dan satu nilai’’. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.
Adapun terkait makna politik (siyasah) disebutkan dalam kamus Al-Muhit bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Al-Jauhari berkata: sustu ar-raiyata siyasatan artinya aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siyasah maksudnya: al-qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (siyasah/politik adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab, Ibn Mandzur).
Dengan demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan
suatu aturan tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan.
Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya:
»كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ
نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ«
Adalah Bani
Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi. Setiap seorang
Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi
sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak (HR. Bukhari).
Di dalam kitab Fath al-Bariy, pada syarah hadits ini , dijelaskan makna siyasah (politik):
( تسوسهم الأنبياء) أي أنهم كانوا إذا ظهر فيهم
فساد بعث الله لهم نبيا لهم يقيم أمرهم ويزيل ما
غيروا من أحكام التوراة , وفيه إشارة إلى أنه لا بد
للرعية من قائم بأمورها يحملها على الطريق
الحسنة وينصف المظلوم من الظالم
“(Mereka
diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di
tengah-tengah mereka, Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi
yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang
mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang
yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat
melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang terzalimi dari pihak
yang zhalim”
Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy)
merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam
rangka mengurusi urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah
kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini
oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.
Karakteristik Partai Politik Islam
Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya:
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).
Imam Al-Qurthubi mendefinisikan kata (أمة) dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Quran,
sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu akidah. Tetapi,
menurutnya, umat dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 ini juga bermakna
kelompok karena adanya lafadz “minkum” (di antara kalian). Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam tafsir dan fiqh, berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan tentang arti ayat ini yakni: ‘’(Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun‘’, artinya: “Hendaknya ada di antaramu (wahai orang-orang beriman) umat )jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam(”. Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya, Tafsir al-Baidhawi tentang arti ayat ini menyatakan: Lafadz Min —dalam ayat tersebut— mempunyai konotasi li at-tab’idh (menujukkan makna sebagian). Karena amar makruf dan nahi munkar merupakan fardhu kifayah.
Disamping karena aktivitas tersebut tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, ketika orang yang diperintah oleh nash tersebut
harus mempunyai sejumlah syarat, yang tidak bisa dipenuhi oleh semua
orang. Seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tatacara
menunaikannya dan kemampuan melaksanakannya. Perintah tersebut memang
menyerukan kepada seluruhnya (umat Islam), namun yang diminta
mengerjakannya hanya sebagian dari mereka. Itu membuktikan, bahwa
perintah tersebut wajib untuk seluruhnya, sehingga ketika mereka
meninggalkan pokok kewajiban tersebut, semuanya berdosa. Namun,
kewajiban tersebut dinyatakan gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di
antara mereka. (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz I, hal. 374).
Pada titik terakhir ini, Imam as-Syathibi
memberikan penegasan, “Pada dasarnya mereka (kaum Muslim) dituntut
untuk menunaikannya secara keseluruhan. Namun, mereka ada yang mampu
melaksanakannya secara langsung. Mereka inilah orang-orang berkompeten
untuk melaksanakannya. Sedangkan yang lain, meski mereka tidak mampu,
tetapi tetap mampu menghadirkan orang-orang yang berkemampuan. Jadi,
siapa saja yang mampu menjalankan pemerintahan (wilayah), dia
dituntut untuk melaksanakannya. Bagi yang tidak mampu, dituntut untuk
melakukan perkara lain, yaitu menghadirkan orang yang mampu dan
memaksanya untuk melaksanakannya. Kesimpulannya, yang mampu dituntut
untuk menjalankan kewajiban tersebut, sementara yang tidak mampu
dituntut untuk menghadirkan orang yang mampu. Alasannya, karena orang
yang mampu tersebut tidak akan ada, kecuali dengan dihadirkan. Ini
merupakan bagian dari Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, yaitu kewajiban yang hanya bisa dijalankan dengan sempurna dengan adanya perkara tadi.” (as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, juz I, hal. 128-129)
Ringkasnya, di
dalam ayat itu disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu segolongan umat
…’, artinya, hendaknya ada sekelompok/segolongan orang dari kaum Muslim (ummatan minal muslimin atau jama’atan minal muslimin). Ayat
ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya
kelompok/jama’ah. Kelompok untuk apa? Untuk menjalankan dua fungsi: pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar).
Kata al-khair dalam frase da’wah ilal khair menurut tafsir Jalalain berarti al-Islam (Tafsir al-Quran al-’Azhim li al-imamain Jalalain, hal. 58), sehingga makna da’wah ilal khair adalah mendakwahkan/menyeru manusia kepada Islam. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa al-khair
adalah mengikuti al-Quran dan as-Sunnah. Maksud ayat tersebut,
lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat ini suatu kelompok yang solid
dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal itu juga merupakan
kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-’Azhim, Juz I, hal. 478).
Berdasarkan hal ini, jelaslah kelompok yang dikehendaki Allah adalah
kelompok yang secara penuh berjuang untuk menyerukan Islam.
Pada sisi lain, kelompok tersebut berbentuk partai politik. Hal ini dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar
amat luas, termasuk di dalamnya menyeru para penguasa agar mereka
berbuat ma’ruf (melaksanakan syariah Islam) dan melarangnya berbuat
munkar (menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam).
Bahkan, mengawasi para penguasa dan menyampaikan nasihat kepadanya
merupakan bagian terpenting dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Padahal,
aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus termasuk
kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama kegiatan
sebuah partai politik. Jadi,
ayat tersebut mengisyaratkan tentang kewajiban mendirikan partai-partai
politik yang berdasarkan Islam. Dengan kata lain, partai politik yang
harus ada adalah partai politik yang tegak di atas ideologi (mabda) Islam atau partai Islam ideologis.
Berdasarkan hal tersebut, partai
politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan
menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah
Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.
Partai politik
Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang
bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai politik Islam tidak
ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau berjuang meraih
kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk merubah sistem
Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam. Orang-orang,
ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta
orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya
haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam
yang ideologis memiliki beberapa karakter, di antaranya:
1. Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.
2. Orang-orangnya
adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka berpikir
berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai politik Islam
terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga mereka
memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran, perasaan,
pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai, cita-cita
dan tujuannya pun sama. Merekapun menjadi sumberdaya manusia (SDM) yang
siap untuk menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama, ikatan yang
menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan akidah
Islamiyah.
3. Memiliki
amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan dipatuhi
selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu” (HR Muslim).
4. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah)
yang jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan,
sistem sosial, sistem pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya
harus tersedia dan siap untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang
disosialisasikan kepada masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan
semua sistem Islam tersebut sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam
inilah yang diperjuangkan untuk ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi
tidak akan dapat dilakukan kecuali adanya metode pelaksanaan (thariqah). Dan
metode pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang
menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum
Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.
5. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat. Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama dengan rakyat.
6. Melakukan aktivitas:
a. Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai.
b. Membina
umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang diadopsi
oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai
solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan syariah
Islam dalam wadah Khilafah.
c. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam.
d. Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau menzhalimi rakyat.
e. Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zhalim.
Arah Jalan
Secara umum ada
dua jalan yang ditempuh dalam perjuangan merubah sistem Sekular menjadi
Islam. Pertama, jalan parlemen. Jalan ini menggunakan logika linier,
yaitu partai politik ikut dalam parlemen untuk merumuskan
perundang-undangan yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, sistem
akan berubah.
Fakta
menunjukkan perubahan total tidak pernah terjadi melalui jalan parlemen.
Kalaupun bisa terjadi bersifat parsial. Karenanya, perjuangan melalui
parlemen bukanlah metode untuk melakukan perubahan total.
Parlemen tidak
dapat dijadikan sebagai metode perubahan. Sebab, metode perubahan
melalui parlemen hanya bersifat teoritis belaka bukan praktis. Selain
itu, pemilu bukanlah metode perubahan yang telah ditempuh oleh Rasul
saw. ketika mendirikan pemerintahan Islam. Selain itu, fakta di
Indonesia juga menunjukkan bahwa partai-partai politik dan anggota
parlemen sejak awal telah melihat keharusan mereka untuk terikat dengan
Sekularisme Kapitalisme beserta produk perundangan-undangannya. Ini
artinya, pemilu di Indonesia tidak diadakan dalam rangka melakukan
perubahan mendasar apapun.
Pada sisi lain dilihat dari faktanya, parlemen itu memiliki tiga fungsi, yaitu:
1. Membuat
undang-undang dasar dan undang-undang serta mengesahkan berbagai
kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai perjanjian yang lain.
2. Mengangkat
kepala negara –di beberapa negara, dia dipilih secara langsung oleh
rakyat– dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan pemerintahan.
3. Melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Partai Islam ditujukan untuk menerapkan Islam secara kaffah, karenanya partai yang membuat undang-undang sekular, melalui wakilnya yang duduk di parlemen,
bertentangan dengan fakta partai Islam itu sendiri. Lebih dari itu,
dalam pandangan Islam, manusia tidak berhak membuat hukum dan
undang-undang. Yang berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah
Allah SWT. Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Kuputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yûsuf [12]: 40)
Begitu juga
pemberian mandat kepada pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum
Allah, jelas hukumnya haram, tidak boleh dilakukan oleh partai Islam.
Allah SWT menegaskan hal ini dalam firmanNya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang kafir. (TQS. al-Mâidah [5]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang zalim. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang fasiq” (TQS. al-Mâidah [5]: 47)
Adapun
aktivitas pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan
lembaga-lembaga pemerintahan merupakan kewajiban yang harus dilakukan,
termasuk oleh partai politik. Caranya, bisa dari luar parlemen, bisa
juga dari dalam parlemen. Karena itu, siapapun yang ada di dalam
parlemen harus menjadikannya sebagai mimbar dakwah dalam rangka
melakukan koreksi (muhasabah) bagi penguasa. Satu hal yang penting dicatat adalah parlemen sebagai mimbar dakwah hanyalah salah satu teknik (uslub) saja dalam melakukan koreksi pada penguasa.
Jalan kedua
adalah jalan yang merupakan metode perubahan. Metode ini adalah metode
yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Metode tersebut berupa pembinaan umat
Islam dan berinteraksi dengan mereka hingga terbentuk kesadaran umum
pada diri mereka. Bukan sembarang kesadaran melainkan kesadaran bahwa
mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia,
dan kesadaran bahwa agama Islam yang telah diturunkan oleh Allah kepada
Muhammad adalah risalah paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Umat pun menjadi sadar bahwa Allah akan memenangkannya atas semua agama dan ideologi, termasuk atas demokrasi Barat.
Agama inilah
satu-satunya yang akan membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya
Islam. Tidak berhenti sampai di situ, muncul pula kesadaran bahwa
masalah utama umat Islam saat ini adalah mengembalikan Khilafah Islam
yang akan menerapkan syariah Allah di dalam negeri, mengemban risalah ke
seluruh dunia, serta menyatukan kaum Muslim di bawah panji La ilaha illallah. Umat juga sadar bahwa mengembalikan Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-nushrah (aktivitas mencari pertolongan) dari para pemilik kekuatan (ahlul quwwah), bukan melalui pemilihan umum. Partai politik Islam melakukan proses penyadaran pada semua lini masyarakat.
Dalam prakteknya, partai Islam tidak lepas dari langkah-langkah berikut:
1. Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah)
dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan menjadikan rekrutmen
kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang berambisi untuk
mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam menegakkan Islam demi
kemaslahatan manusia.
2. Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya kesadaran masyarakat (al-wa’yu al-am)
tentang Islam. Pembinaan ini harus menghubungkan realitas yang terjadi
dengan pandangan dan sikap Islam terhadap realitas tersebut. Misalnya,
memperbincangkan dengan masyarakat persoalan kenaikan harga listrik,
BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada asing, tekanan Dana Moneter
Internasional (IMF), penghinaan terhadap Nabi/al-Quran/Islam, dll,
disertai penjelasan hukum Islam tentang masalah tersebut. Partai
membuat komentar, analisis, dan sikap politik terkait hal-hal tersebut
lalu disampaikan kepada rakyat. Juga, dilakukan koreksi terhadap
kebijakan penguasa serta membongkar rencana jahat negara asing. Dengan
cara seperti ini rakyat akan memiliki sikap politik sesuai dengan
pandangan Islam terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Dengan
pembinaan ini pula terjadi transfer nilai-nilai dan hukum Islam dari
generasi ke generasi. Partai Islam sehari-hari berada di tengah rakyat.
3. Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh partai (tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwatu al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy),
yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus
diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya terus menerus
penyadaran politik Islam kepada masyarakat, yang dilakukan oleh kader.
Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan
politik juga makin cepat terwujud. Di sinilah agregasi dan artikulasi
kepentingan rakyat terjadi. Apa yang menjadi kepentingan rakyat tersebut
tidak lepas dari tuntutan dan tuntunan aturan Islam. Dengan cara
seperti ini terjadi komunikasi politik dan sosialisi politik antara
partai dengan rakyat hingga massa umat memiliki kesadaran politik.
Pemikiran
partai Islam tentu berbeda dengan partai Sekular-Kapitalis-Liberal
maupun Sosialis-Komunis. Sebagai contoh, dalam masalah ekonomi, partai
sekular menjadikan seluruh aset produksi, termasuk sumber daya alam
(SDA) dibiarkan dikuasai oleh individu atau swasta berdasarkan mekanisme
pasar. Sementara partai Sosialis menjadikan negara sebagai aktor
tunggal aktivitas ekonomi, sehingga semua aset produksi, termasuk sumber
daya alam (SDA) dimonopoli oleh negara. Rakyat pun tidak boleh memiliki
aset produksi apapun. Adapun partai Islam, menjadikan aset produksi,
termasuk sumber daya alam (SDA), sesuai dengan mekanisme hukum syara’,
yang terbagi dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu,
umum dan negara. Ada juga partai yang tidak memiliki konsep apapun
tentang masalah tersebut, maka senyatanya ia bukanlah partai, atau
sekadar partai papan nama.
4. Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) dilandaskan pada Islam dan diperjuangkan bersama antara partai dengan rakyat.
5. Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan
pihak-pihak yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh
masyarakat, media massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah
setuju dan mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik
yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
6. Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke dalam khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.
Jalan tersebut
merupakan jalan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat dan perjuangan
bersama antara partai dengan umat sehingga dikenal dengan jalan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat). Tampak,
jalan tersebut merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada sesuatu yang
perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu adalah
kesadaran umat dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.
Kemasalahatan umat itu bukanlah sekadar persoalan moralitas dan sentimen keagamaan. Namun, Partai
politik Islam juga memiliki solusi syariah yang cerdas, dan bisa
diterapkan oleh negara, seperti menjamin kebutuhan pokok (sandang,
pangan, dan papan) tiap individu masyarakat. Mekanisme ini dilakukan
setelah secara individu, seseorang tidak mampu memenuhinya, dan keluarga
dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu, Islam juga menjamin
kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis
sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran dan hadits Nabi.
Demikianlah
seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan oleh rakyat
yang menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat. []
Baca juga :
- Pembentukan Partai Politik Islam
- [VIDEO] Fokus: Cara Syariah Islam Mencegah Skandal Partai Politik
- AS Rancang Komunikasi Politik Dengan Partai Islam Mesir Pemenang Pemilu
- Partai Politik Islam di UK Meminta Pakistan Memutuskan Hubungan dengan Amerika dan Barat
- Pemerintah di Asia Tengah Paling Bersemangat untuk Melawan Partai Politik Hizbut Tahrir dan Islam
Tags:
partai,
Partai Politik
Artikel ini diposting
pada tanggal 30 July 2008 pukul 05:29 pada kategori Buku, Buku HT, Leaflet.
islam memang mengatur kehidupan ummat manusia dari hal yang paling sederhana sekalipun hingga pemerintahan. Idealnya dan memang seharusnya Indonesia dan negara-negara di dunia mengambil langkah untuk kaffah bersyariah.
teruskan perjuangan HTI sebagai partai politik Islam untuk menegakkan syari’ah di indonesia,jadikan Indonesia aman,sejahtera,n dalam naungan ridho ilahi…
ALLAHUAKBAR!!!
Semakin dekat dengan PEMILU ini partai politik Islam,khususnya Hizbut Tahrir harus melakukan proses penyadaran kepada masyarakat mengenai partai politik yang shahih.WE LOVE SYARI’AH
hanya prosentase perolehan suara saja menjadi target mereka,
Kursi bukanlah SOLUSI…
jangan terpengaruh dengan janji atau lemes dengan ancaman.
hizbut tahrir harus tetap keras dan kuat terhadap hal-hal yang bertentangan dengan islam. tidak ada kompromi, karena islam adalah haq, islam adalah putih, tidak ada abu-abu yang ada hitam dan putih.
Moga khilafah segera berdiri. Amien
terimakasih…
ini yg selama ini saya cari, untuk kopi paste di tempat lain
tapi insyaAllah untuk tujuan yg bermanfaat, :)
wassalam`ulaikum wr wb
iya setuju dengan tulisan diatas..malah sekarang partai islam yang ada demi memperebutkan kursi pemilu 2009 malah membukakan diri kepada non muslim utk menjadi caleg dari partai-nya..yang katanya menamakan diri partai islam….lieur akh
Jika kulihat yang ikutan pemilu tahun 2009, kok ga ada ya yg sperti tulisan diatas. rata-rata yg ikutan pemilu parta-partai pragmatis bahakan terkesan hipokratis
is
The
Blue
Ocean
Strategy///
partai islam berdiri untuk memperjuangkan syariah dan khilafah islam saja. untuk tegaknya hukum2 Alloh
bukan kayak partai sekarang. cuma cari suara dg menghalalkan segala cara. untuk duduk di kekuasaan. tanpa pandang apakah caranya sesuai islam apa ndaak.
udah gitu gagal banget kaderisasinya
caleg artis lah,, gak mempedulikan apakah caleg tsb sesuai dg Islam/misi partai
masya Alloh…
tapi masyarakat jgn antipati sama partai Islam
malah harus mdukung dan bahkan harus bergabung dg partai Islam yang Benar
Allahu Akbar
salam perjuangan
tahun 2009 pertarungan semu bagi partai yang semu, akan menghasilkan yang semu semata! hanya partai islam yang shohih akan memperlihatkan hasil yang cemerlang. untuk itu kalau udah partai politik islam harus asasnya islam bukan sekedar simbol yang hanya untuk mencari dan meraih posisi untuk eksistensi partainya. moga ini pemilu yang terakhir dalam bingkai demokrasi. karena khilafah akan segera tegak! amin. Allahuakbar.
Tapi alangkah indah kalau…
“Indonesia adalah salah satu wilayah dari negara muslim yang besar…”
smangat ahh..Allahuakbar!!
Hizbut Tahrir Maju Teruz
Bongkar Makar2 Penjanjah dan antek2nya.
“Khilafah Rasyidah”
Izin COPAZ..
allahu akbar 3x
demokrasi dan neolib adalah jalan hidup munafikun dan kafirun