sama dgn note sy sebelumnya , bhwa tulisan ini jg sdh lama
tersimpan dlm file sy namun hari ini mgkn saat yg tepat utk
sy share di wall bernama pesbuk ini . Sebuah tulisan seorg
Mahasiswi sekaligus seorg aktivis. Sprti apa kisahnya ... yuukkk ,
baca sampe akhir
Seharusnya saya sudah
tidur saat ini. Ya, jam dinding di ibu kota sudah tidak lagi
menunjukkan tengah malam, tetapi telah jam tiga kurang seperempat.
Ketahuilah, bahwa yang memaksa saya terjaga hingga saat ini dan
memaksakan diri dan jari-jari mengetik kata dari dalam hati adalah
akibat kebiasaan kita para makhluk sosial yang rutin mengecek gadget alat telekomunikasi sebelum benar-benar memejamkan mata.
Anda mungkin menebak saya hendak curhat tentang sedih hati terhadap seorang laki-laki. Yah, untuk saat ini belum tepat. Karena yang saya baca barusan adalah sebuah lelucon yang dilemparkan di grup whatsapp
beranggotakan sesama mahasiswa Manajemen Komunikasi UI angkatan 2013.
Yang mengirimkan pesan bernada humor itu adalah seorang kawan yang saat
ini tengah berbahagia atas kelahiran putera pertamanya. Dan humor ini
bukan tentang pengalamannya menjadi seorang ibu muda, tetapi tentang
‘saya’. Begini isi pesan itu:
“Ini joke tapi cukup ‘serius’ di antara para dosen. Dosen senior ngomong ke dosen baru;
Jangan
takut sama mahasiswa/i yang nilainya A dan A+, karena mereka nanti
akan menjadi teman sejawat. Tapi berbaik-baiklah sama mahasiswa/i yang
nilainya rata-rata B karena mereka biasanya jadi pengusaha besar atau
menjadi menteri dan dirjen dan memberi kita proyek. Dan awas serta
takutlah sama mahasiswa yang rata-rata nilainya C dan D karena mereka
nanti aktif di parpol atau anggota DPR dan merekalah yang menentukan
nasib kita dan bangsa kita ini.”
Well, memang agak berlebihan jika saya katakan lelucon ini
tentang diri saya. Tetapi yang dimaksud dengan ‘saya’ adalah entitas
saya sebagai manusia politik dan aktivis politik yang sedang menimba
ilmu komunikasi politik strata dua. Jujur, saya merasa tersentil tetapi
yang lebih membuat saya tidak jadi memejamkan mata karena saya tak
henti bertanya; apakah nyatanya kita ternyata memang mengakui
panggung-panggung politik, partai politik, dan parlemen diisi oleh
orang-orang yang boleh dikatakan tak cakap, tak memiliki nilai baik
secara akademik ? Kita mengakui atau membiarkan?
Jika boleh pamer sedikit dan membuka hasil kredit semester saya yang
lalu, tidak ada tercantum huruf C apalagi D. Saya memang berharap bisa
menjadi dosen kelak, tetapi saat ini yang tengah saya jalani adalah
aktivitas sebagai kader parpol dan dalam perjuangan untuk menjadi
anggota parlemen.
Tetapi jika joke
di atas menjadi santapan para intelektual, saya menjadi tergelitik
untuk bertanya; apakah kaum intelektual terlebih intelektual politik
memang memilih untuk tidak masuk sebagai praktisi politik dan menjadi
penentu kebijakan, lebih bersedia sebagai tim ahli dan konsultan
alih-alih menjadi pembuat undang-undang itu sendiri?
Bagi saya, ini sama halnya dengan kondisi psikologis masyarakat kita
saat ini yang akut ketika tahun pemilu. Masyarakat benar-benar
mengutuki tindak korupsi, membuat berbagai lelucon tentang pelakunya
dan parpolnya. Tetapi ketika ada politik uang, hal tersebut tetap
diterima sebagai sesuatu hal yang niscaya.
Menjadikan proposal beredar deras semasa kampanye ini hal biasa,
padahal tak semua hal tentang menjadi calon anggota legislatif itu
mengenai uang dan bantuan sesaat. Seperti satu kicauan di twitter
yang saya baca kemarin pagi, bahwa masyarakat mengutuk korupsi para
elit, tapi juga tak terjepit lidahnya meminta angpao, dan mendiamkan
caleg berkualitas yang minus modal ‘mati’ terkapar dengan tak ada
keinginan untuk mendukung mereka.
Lalu, mau kita sebut apa dua kondisi yang serupa tapi tak sama di
atas itu? Menikmati hidup dalam paradoks, atau sengaja memelihara sifat
hipokrit agar tulisan Mochtar Lubis tentang sifat dasar manusia
Indonesia tetap berlaku?
Kita para intelektual dan para akademisi tahu persis bahwa panggung
politik itu memang dipenuhi oleh orang-orang yang hanya mendapatkan
nilai C atau D alias failed grade, tapi kita tak pernah mau
mengisi ruang-ruang yang penuh dengan ‘malpraktik’ tersebut dengan diri
kita yang bernilai A atau A+.
Emoh atau
pembiaran? Baik, katakanlah saja enggan terlibat dalam pusaran arus
kotor politik. Ah, teringat tadi seorang abang saya berkata bahwa di
universitas di Malaysia tidak ada jurusan ilmu politik, tak seperti di
Indonesia. Lalu entah buat apa kita begitu terbuka terhadap ilmu
politik ini jika intelektualnya sendiri tak mau berpolitik dan
membenahi kondisi semrawut politik negeri? Ataukah kita memang
benar-benar harus memisahkan, pihak mana yang harus berteori, dan pihak
mana yang harus berpraktek?
Seringkali saya bersirobok dengan orang yang mengomentari sikap saya
yang sesungguhnya saya bawa dari organisasi politik saya. Pihak-pihak
tersebut mengambil contoh keriuhan politik yang terjadi pada masa
Soekarno, ketika politik menjadi manifesto jalannya kehidupan bernegara
bak garis haluan.
Masyarakat secara sadar
ikut menjadi anggota parpol dan proses internalisasi ideologi berjalan
melalui pengkaderan yang masif. Dari level sekolah menengah atas,
kampus, hingga profesi memiliki wadahnya dalam gerakan politik. Tetapi
yang tak luput dan mencoreng adalah tingginya gesekan horizontal yang
terjadi di masyarakat.
Bahkan dalam sebuah
tulisan Pipit Rochijat bertajuk Aku PKI atau Bukan PKI, menggambarkan
benar bagaimana perbedaan warna parpol sudah memecah-belah bangunan
sosial, bahkan sejak dari bangku SMA. Lalu bagaimana pula jika setiap
orang terlebih kaum intelektual mesti bergabung menjadi anggota parpol?
Apakah yang awalnya percekcokan ide akademis dapat
merembet-rember menjadi percekcokan warna parpol dan ideologi? Kira-kira
masih relevankah tindakan dan ‘kondisi’ itu pada masa kini?
Pernah pula suatu kali dosen berkata di kelas kepada saya, bahwa
saya sebagai politisi muda yang masuk ke dalam dunia politik, ibarat
susu murni yang putih dan ingin memutihkan kopi yang pekat.Tapi apa
yang terjadi, bukan membuat kopi menjadi putih tetapi malah larut dalam
warna yang abu-abu.
Nantinya
politisi muda idealis akan tersandung atau terikut pusaran keruwetan
itu. Saat itu saya hanya terpekur dan tersenyum penuh hormat, karena
saya memang sangat menghormati beliau.
Tetapi
pada satu ruang lain di dalam hati dan pikiran saya, bagaimana pun
masa depan, saya memantapkan bahwa inilah perjuangan saya. Saya berani
mengambil sikap untuk menjadi susu yang rela ditumpahkan untuk
membubarkan kepekatan hitamnya kopi. Paling tidak, saya menyatakan sikap
dan keberpihakan alih-alih hanya terdiam tak mau ikut campur,
mengutuki pahit pekatnya kopi sembari diam-diam mengagumi diri yang
putih suci seperti susu.
Caleg seperti saya ini jumlahnya cukup banyak. Berani bertaruh,
berkat kehadiran Liga Mahasiswa NasDem dan kesadaran organisasi
kepemudaan di banyak parpol yang semakin masif, maka jumlah calon
legislatif dari kalangan pemuda mahasiswa untuk pemilu kali ini lebih
banyak dari pemilu terdahulu.
Konsekuensinya adalah itu tadi; ketiadaan modal kapital yang menjadi fardhu ‘ain
dalam politik mahal masa kini. Tapi, melalui tulisan ini pula saya
ingin menyatakan rasa bangga dan salut, melihat perjuangan rekan
separtai sesama aktivis mahasiswa, juga rekan pemuda mahasiswa dari
parpol lain yang berjuang dalam kekayaan modal sosial.
Terlebih lagi Liga Mahasiswa NasDem, organisasi ini memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi aktivis mahasiswa untuk tidak lagi hidup
dalam mitos parlemen jalanan. Dari sana, saya dan kawan-kawan memiliki
keyakinan untuk masuk ke dunia politik untuk bisa merebut peran sebagai
penentu kebijakan, jika yang dirasakan selama ini hanya diisi oleh
orang untuk mengamankan kepentingan. Saya rasa, ideolog sekaligus ketua
umum kami benar adanya.
Ia tak ingin kaum
intelektual dan aktivis mahasiswa menjadi makhluk politik yang
setengah-setengah. Untuk itulah, semboyan Liga Mahasiswa NasDem yang
pertama dan terlebih dahulu adalah; Belajar.
Melalui sikap politik dan pendirian serta pilihan saya ini, saya tak
ingin hidup dan terjebak dalam paradoks terlebih lagi kepura-puraan.
Saya tak ingin bernasib seperti joker dalam Misteri Soliter cerita
Jostein Gaarder. Joker memang sungguh piawai, lihai, dan mampu bertahan
dalam segala kondisi perperangan, ia bisa menjadi apapun; penasihat,
penyerang, raja, atau hanya serdadu.
Tapi
ia tak bisa menetapkan pilihannya sebagai satu karakter saja. Sungguh
karakter joker adalah karakter yang aman dari coreng malu kekalahan
perang, tetapi ia bukanlah pembuat keputusan, ia bukan panglima perang,
ia hanyalah pelaksana, menjadi apapun yang diinginkan oleh sang
pembuat kebijakan. Paradoksal joker akibat keadaan, karena begitulah ia
ditakdirkan. Tapi toh, saya dan Anda adalah manusia, paradoks itu kita
yang menciptakan, karena tak mampu mengambil sikap, dan terjebak dalam
kutukan sendiri terhadap kondisi.
Jakarta, 02 April 2014
Kamis, 30 Oktober 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Movie, Photography and Hobby Indonesian Old Movie Lovers Home GALERY FILM JADUL HISTORY, PAST & FUTURE KOLEKSI F...
-
Indonesia Kampoeng Halamankoe Sejarah Indonesia Koleksi Foto Video Perjuangan dan Musik Indonesia ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar