



Artikel

Birokrasi

Daniel H.t.
Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Berasal dari Fakfak, Papua Barat. Twitter @danielht2009Susi Pudjiastuti dan “Sarjana Kertas”
HL | 04 November 2014 | 09:55



Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (Tempo.co)
Ignatius
Ryan Tumiwa (48) pada Agustus 2014 sempat membuat geger kita, karena
pada saat itu dia mengajukan uji materi Pasal 344 KUHP terhadap UUD 1945
kepada Mahkamah Konstitusi. Pasal 344 KUHP itu adalah mengenai ancaman
hukuman penjara bagi mereka yang melakukan euthanesia.
Ryan
mengharapkan MK mengabulkan permohonannya itu dengan mencabut ketentuan
pidana terhadap orang yang menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaannya sendiri. Menurut Ryan adalah hak asasi setiap manusia
untuk menghilangkan nyawanya sendiri, termasuk dengan bantuan orang
lain.
Motivasi
Ryan mengambil langkah hukum itu adalah supaya dia bisa bunuh diri
dengan cara disuntik mati oleh dokter. Dasarnya karena dia sudah sangat
depresi menghadapi masa depannya yang suram. Sudah lebih dari setahun
dia belum memperoleh pekerjaan, padahal alumnus FISIP UI Tahun 1998 ini
mempunyai gelar S-2 jurusan Ilmu Administrasi, dengan IPK 3,32. Termasuk
tinggi, apalagi kuliahnya di UI.
Untuk
mengekspresikan depresinya itu Ryan juga menampilkan dirinya ke publik
dengan memperlihatkan ijazah S2 jurusan Ilmu Administrasi FISI UI itu.
Itulah cara Ryan mengeksplotasikan kekecewaannya secara maksimal. Betapa
tidak kuliahnya di UI, Sarjana S-2, IPK tinggi, tapi apa hasilnya?
Sia-sia, tak terpakai sama sekali, pengangguran!

Ryan Tumewa (Tribunnews.com)
Padahal
tetangga-tetangganya pun mengatakan Ryan adalah sosok yang genius. Ia
pernah menjadi dosen. Kehidupannya mulai menjadi tak menentu setelah
orang tuanya meninggal dunia. Frustrasi, depresi, berhenti kerja,
mencari kerja, usaha sendiri, semua gagal.
Ryan
memang genius secara akedemik, kemampuan kognitifnya tak diragukan lagi,
buktinya, ya, mampu lulus menempuh kuliah sampai S-2 di UI dengan IPK
tinggi 3,32 itu. Tetapi, apakah semua itu mampu diaaplikasikan dalam
dunia kerja yang nyata yang menuntut setiap orang harus bisa
serbakreatif, inovatif, perubahan-perubahan yang serbacepat, adaptif,
kerja keras, praktis, dan sebagainya?
Sebelum
ke MK, dalam depresinya itu, Ryan sudah ke Komnas HAM mengadu nasibnya,
tetapi ditolak karena dianggap salah alamat. Dari Komnas HAM dia ke
Dinas Kesehatan minta diberi tunjangan, karena menganggap dirinya orang
miskin layak menerima tunjangan tersebut. Tetapi di Dinas Kesehatan,
Ryan ditolak juga. Kepada dia dijelaskan bahwa tunjangan kemiskinan itu
hanya diberikan kepada orang yang benar-benar miskin, yang tunawisma,
bukan seperti dirinya.
Dari
Dinas Kesehatan, Ryan ke MK, juga gagal. MK menolak permohonan uji
materinya itu. Hakim MK malah menyarankan dia ke psikiater untuk
mengobati depresinya itu. Saran itu rupanya tidak dituruti Ryan.
Cita-cita terakhirnya malah hendak membuang dirinya ke Planet Mars,
mengikuti program NASA yang konon akan mengirim sejumlah orang ke Planet
Merah itu (Tribunnews.com)
Kisah
memilukan Ryan ini dijadikan salah satu contoh kasus oleh Rhenald
Kasali, Guru Besar FEUI, pendiri dan pemilik “Rumah Perubahan”, praktisi
manajemen dan penulis sejumlah buku perubahan dan manajemen terkenal,
di dalam bukunya yang berjudul Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger? (Mizan, 2014).
Merespon kasus Ryan ini, Rhenald menulis (halaman 2-3): “Membaca
berita seperti itu membuat saya miris. Sudah lama saya komplain
terhadap dunia yang saya geluti. Saya komplain ketika melihat banyak
akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa semata-mata dari ujian
tertulis, buku tes, dan paper. Bahkan saya sering memergoki mahasiswa yang mendapat nilai A dari kelas marketing sebelumnya, yang kini duduk di kelas saya (saya mengajar International Marketing), tetapi tidak mencerminkan kualitas A yang sesungguhnya.”
Bagaimana mungkin seseorang dinyatakan genius, dapat nilai A di kelas marketing, tetapi bicaranya saja ketus, berpakaian sembarangan, ‘packaging’-nya buruk, image-nya lebih dikenal sebagai siswa yang ‘aneh’, dan – maaf – ‘membosankan’. Kok anak pintar begitu?…”
“Bukankah marketing itu berarti kepuasaan pelanggan, melayani orang lain dengan baik, mengerti cara melakukan branding, packaging,
dan membidik pasar? Mengapa tidak kau tanam semua itu di dalam dirimu?
Mengapa hal-hal seperti itu hanya kau simpan dalam otakmu? Inilah
perbedaan antara tahu dan bisa.”
“Banyak
orang berpikir, label-label itu ‘akan bekerja untuk saya’. Padahal
pendidikan yang benar mengajarkan ‘jangan jual label-label itu’,
melainkan ‘juallah apa yang engkau miliki, yaitu dirimu sendiri’. Ya, yourself, not your labels. Not your UI, your ITB, atau your UGM. Not your FEUI, or TI-ITS. Bahkan not your Harvard-MBA.”
“Sarjana Kertas”
Saya
sedang membaca buku terbaru dari Rhenald Kasali itu, ketika Presiden
Jokowi mengumumkan 34 menterinya yang bergabung di dalam kabinet yang
dia beri nama Kabinet Kerja. Salah satu menterinya itu adalah Susi
Pudjiastuti, pemilik Susi Air, dipercayakan Jokowi menjabat sebagai
Menteri Kelautan dan Perikanan. Jokowi memilih Susi, mengingat latar
belakangnya sebagai pengusaha pengepul ikan, yang merintis usahanya itu
mulai dari nol sampai memiliki perusahaan perikanan besar, yang kemudian
mendirikan maskapai penerbangan dengan nama PT ASI Pudjiastusi, yang
kini mengoperasikan lebih dari 30 unit pesawat kecil dari berbagai
jenis, seperti Grand Caravan, Piaggio Avanti, dan lain-lain, dengan nama
maskapai penerbangan Susi Air, yang menghubungkan banyak sekali
daerah-daerah terpencil dengan daerah perkotaan di seluruh Indonesia.
Selain karena faktor tersebut, Jokowi juga pasti memilih Susi karena sosoknya yang sangat ulet, pekerja keras, tipikal “think out the box”, berjiwa seorang pimpinan, yang bercirikan sebagai “driver,” – meminjam istilah Rhenald Kasali – penemu solusi dan inovasi yang handal.
Karena Jokowi juga seorang pimpinan yang penuh inovasi, berlatar belakang pengusaha, tokoh perubahan, praktisi, dan seorang “driver”
maka dalam memilih dan menentukan para calon menterinya, dia tidak
terpaku dan terpukau pada latar belakang akademik mereka. Lulusan dari
perguruan tinggi dalam negeri atau luar negeri, terkenal atau tidak,
sarjana S-1, S-2, atau S-3, IPK-nya tinggi atau rendah, semua itu bukan
pertimbangan paling utama, bahkan bisa diabaikan oleh Jokowi. Untuk apa
punya setumpuk gelar sarjana, lulusan perguruan tinggi paling terkenal
di luar negeri, IPK tertinggi, tetapi sosoknya adalah seperti Ryan
Tumiwa yang saya sebutkan di atas? Karena itulah Jokowi dengan tanpa
ragu sedikit pun memutuskan memilih Susi Pudjiastuti yang hanya lulusan
SMP, tetapi pengalaman kesuksesannya lebih dari segudang banyaknya, dan
berjiwa seorang “driver.”
Tetapi, rupanya apa yang ditulis Rhenald Kasali di bukunya yang berjudul Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger?
Itu sungguh-sungguh nyata sampai dengan hari ini, yaitu di Indonesia
masih sangat banyak, bahkan mungkin mayoritas masyarakat, mereka yang
berpendidikan tinggi sekali pun masih berpikir ala “Sarjana Kertas”,
yaitu istilah yang digunakan oleh Rhenald Kasali untuk mereka yang
begitu mendewa-dewakan gelar kesarjanaan, ijazah dari perguruan tinggi
terkenal di dalam, maupun di luar negeri, sehingga rela menempuh segala
cara, termasuk membeli ijazah untuk memperoleh gelar akademik itu.
Seolah-olah dengan ijazah dan gelar kesarjanaan itu sudah otomatis
menjadi jaminan masa depan yang cerah. Seolah-olah makin terkenal dan
tinggi gelar kesarjanaannya semakin terjamin masa depannya di perusahaan
tempatnya bekerja, atau bahkan karier politiknya.
Ironisnya,
kata Rhenal Kasali, di dalam artikelnya yang berjudul Sarjana Kertas
(Jawa Pos, 24 Oktober 2014), di banyak perusahaan, termasuk di BUMN-BUMN
pun tata kelolanya masih berbasiskan pola pikir ala “sarjana kertas”
ini.
Di artikelnya itu Rhenal antara lain menulis:
“Celakanya, sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita masih
mengidolakan gelar. Bahkan, gelar pendidikan kerap berkorelasi positif
dengan tingkat kesejahteraan. Masih banyak promosi jabatan di lingkungan
instansi pemerintahan maupun BUMN yang ditentukan oleh gelar.
Maka,
tak heran kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), juga pegawai BUMN dan
swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 atau S-3.
Sebab, hanya dengan cara itulah, mereka bisa naik jabatan menjadi kepala
bagian, misalnya. Atau, kalau di BUMN, mungkin bisa menjadi general
manager.
Bahkan,
saat kampanye politik, gelar akademis, apalagi kalau sampai berderet,
seakan membuat peluang seseorang untuk terpilih lebih besar. ”Daya
jualnya” menjadi lebih tinggi. Kalau dia terpilih, pasti
kesejahteraannya meningkat.
Padahal, meskipun kemampuan akademik yang tinggi juga diperlukan, tetapi yang paling dibutuhkan itu sebenarnya adalah skilled worker,
yaitu tenaga terdidik yang betul-betul terampil, siap kerja, siap
berkompetensi, singkatnya siap kerja. Untuk mendapatkan semua itu,
dibutuhkan sosok yang tangguh, pekerja keras, inovatif, kreatif, dan
seorang yang self driving, yaitu mampu membawa banyak orang ke perubahan-perubahan yang memajukan, bukan menjadi passanger yang hanya mengikuti ke arah mana orang lain membawanya, tanpa perlu kerja keras, bahkan banyak berpikir.
Bila ada pimpinan dengan kriteria demikianlah, maka kita bisa berharap dia akan benar-benar menjadi driver yang terbaik untuk membawa kemajuan bagi bangsa dan negara ini.
Mengolok-olok Pendidikan Formal Susi Pudjiastuti
Namun,
sekali lagi, Rhenald Kasali benar dalam menganalisa pola pikir dan sikap
kebanyakan dari orang Indonesia, yang sampai saat ini masih banyak
berpikir ala “sarjana kertas”. Hal ini dengan jelas terlihat dari reaksi
yang meriah dari publik terkait terpilihnya Susi Pudjiastuti yang hanya
tamat SMP tetapi dipilih Jokowi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan
di Kabinet Kerja Presiden Jokowi ini.
Banyak
yang memandang enteng dan melecehkan kemampuan Susi Pudjiastuti sebagai
Menteri itu, hanya karena dia cuma lulusan SMP, tak peduli dengan
sederetan rekam jejaknya yang menganggumkan dalam membangun dari nol
kerajaan bisnisnya yang bernama PT ASI Pudjiastusi, yang kini
mengoperasikan lebih dari 30 unit pesawat kecil dari berbagai jenis itu
dengan nama maskapai penerbangan Susi Air itu. Tidak perduli dengan
sosoknya yang terkenal sangat tangguh, inovatif, kreatif, pekerja keras,
berjiwa seorang “driver”, dan sebagainya itu.
Terutama
dari mereka yang berpendidikan tinggi dengan sederetan gelar akademik
dan gelar kepakaran di bidangnya. Meskipun pakar itu sebenarnya hanya
pakar sebatas teori. Golongan ini merasa kepintaran dan kemampuan Susi
Pudjiastuti yang hanya tamat SMP, masih jauh di bawah mereka, sehingga
cukup banyak juga yang memberi komentarnya dengan nada melecehkan Susi.
Salah satunya adalah pakar ilmu kelautan dari Institut Teknologi Bandung
(ITB), Muslim Muin.
Padahal
masyarakat jauh lebih tahu tentang prestasi Susi Pudjiastuti ketimbang
pakar ilmu kelautan yang bernama Muslim Muim ini. Saya sendiri baru tahu
namanya sekarang, ketika dia memberi komentar yang bernada melecehkan
kepada Susi itu. Muslim Muim menilai Jokowi membuat kesalahan besar
dengan memilih Susi sebagai menterinya, apalagi Menteri Kelautan dan
Perikanan.
Dia
mengatakan, posisi-posisi menteri strategis yang terkait pengembangan
kemaritiman dalam Kabinet Kerja Jokowi diisi oleh orang yang tidak
tepat. Pengangkatan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan
Perikanan, misalnya, dinilai tidak tepat oleh Muslim. Susi memang sukses
dalam mengembangkan industri pengolahan hasil laut serta transportasi
antar-pulau. Namun, menurut Muslim, itu tak cukup.
“Ngaco
mengangkat Susi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sukses menjadi
pengusaha ikan bukan berarti bisa memimpin Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP),” ungkap Muslim kepada Kompas.com, Senin (27/10/2014).
Seolah-olah
ingin menunjukkan dirinya lebih pintar dan tahu daripada Susi, Muslim
pun mengeluarkan istilah-istilah di bidang teknologi kelautan, yang
menurutnya belum tentu Susi mengetahuinya. Seolah-olah mengetahui
istilah itu, sama dengan sudah menjadi orang hebat di bidang kelautan
dan perikanan. Muslim mempertanyakan apakah Susi paham mengenai
teknologi kelautan, marine products economics, coastal processes, dan underwater technology. Menurut Muslim, kepakaran Susi hanyalah tentang penangkapan dan penjualan ikan. Lebih dari itu, tidak. (Kompas.com).
Jelas
sekali, cara Muslim Muim menilai kemampuan Susi Pudjiastuti itu bertolak
pada cara berpikir yang disebutkan Rhenal Kasali sebagai cara berpikir
“sarjana kertas,” hanya menilai kemampuan seseorang dari kacamata
akademisi dan aspek kognitifnya semata. Padahal aspek non-kognitif pun
sebagaimana disebutkan di atas sangat penting, bahkan bisa lebih penting
daripada sekadar pengetahuan akademisi. Itulah talenta yang dimiliki
Susi Pudjiastuti yang benar-benar luar biasa, selain dia juga punya
integritas, dan rasa tanggung jawab yang tinggi dengan jabatannya itu
kini.
Bukti Gelar Sarjana Tidak Berkorelasi dengan Kemampuan di KKP
Dengan
talenta, kepedulian dan rasa tanggung jawab yang benar dan
sungguh-sungguh itulah, maka baru menjabat kurang dari sebulan Pudji
sudah mampu menemukan salah urus yang fatal di KKP.
Yang
ditemukan Susi di Kementeriannya itu adalah ternyata selama ini subsidi
bahan bakar minyak bagi kapal ikan telah salah sasaran sehingga sangat
merugikan negara. Dari total subsidi BBM untuk usaha kapal ikan sebesar
Rp. 11,5 triliun per tahun, sebanyak 70 persen dinikmati kapal besar
berukuran di atas 30 gros ton.
Menurut
Susi, dengan subsidi yang sedemikian besar, ternyata penerimaan negara
bukan pajak yang diperoleh dari perikanan hanya Rp. 300 miliar per tahun
atau cuma 2,6 persen.
“Itu
tidak masuk akal. Jelas negara dirugikan. Ini saya pikir tidak boleh
terjadi lagi. Kita ingin mendapatkan hasil yang setara dengan biaya yang
kita keluarkan (Harian Kompas, 01/11/2014).

(Harian Kompas, Sabtu, 1 November 2014)
Belum
masalah pencurian ikan dan modusnya yang diungkapkan oleh Susi setelah
Presiden Jokowi menyatakan berdasarkan data-data yang ada kerugian
akibat pencurian hasil laut perairan Indonesia ditaksirkan mencapai Rp.
300 triliun per tahun.
Modus
pencurian ikan selama ini dilakukan oleh kapal-kapal penangkapan ikan
asing yang berizin, tetapi hasil penangkapan ikannya tidak pernah
dibongkar di pelabuhan di Indonesia, tetapi dialihkan ke kapal lain di
tengah laut (transshipment), yang kemudian oleh kapal itu dibawa ke luar Indonesia.
Modus
lainnya adalah kapal penangkapan ikan berbendera ganda sehingga mereka
leluasa melarikan ikan dari Indonesia ke luar negeri.
Solusi yang segera dilakukan Menteri Susi Pudjiastuti adalah menerbitkan regulasi yang melarang bongkar-muat ikan di laut (transshipment),
melarang kapal/nelayan asing melakukan penangkapan ikan di perairan
wilayah Indonesia, dan moratorium izin baru kapal selama enam bulan ke
depan, diikuti dengan penertiban kapal, pengkajian zona penangkapan ikan
untuk mengetahui zona mana saja yang stok ikannya rendah dan menutup
penangkapan tersebut guna pemulihan sumber daya ikannya.
Dari
hal-hal tersebut di atas, pertanyaannya, kalau Susi yang hanya tamat SMP
itu bisa menemukan fakta salah urus di KKP yang sangat merugikan negara
selama sedikitnya 10 tahun itu, dan sudah punya solusi dan segera
dilaksanakan dengan menerbitkan regulasi untuk mencegahnya agar tidak
terus terjadi, lalu kenapa menteri-menteri kelautan dan perikanan
sebelumnya, yang notabene punya gelar kesarjanaan, lulusan dari
perguruan tinggi ternama, malah tidak mampu melakukan hal yang sama,
sebaliknya justru terus melanjutkan kesalahan-kesalahan yang sama selama
10 tahun ini?
Bagaimana
dengan Freddy Numbery yang lulusan Akademi Angkatan Laut? Ir. Fadel
Muhammad yang lulusan Teknik Fisika dari ITB, dan yang digantikan oleh
Susi, yaitu Sharif Cicip Sutarjo, yang punya deretan gelar akademisi
dari S1, S2, dan S3 dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung?
Tiga
menteri Kelautan dan Perikanan sebelum Susi ini telah “membuktikan”
bahwa tidak ada korelasi antara gelar kesarjanaan, pendidikan tinggi
dari perguruan tinggi ternama dengan kemampuan kerja mengelola suatu
kementerian.
Dari
tiga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini terbukti gelar
kesarjanaan, bahkan sampai S-3 bukan jaminan mereka mampu mengurus
Kementeriannya secara baik, menyejahterakan nelayan, mencegah dan
menindak pencurian ikan, dan mengoptimalkan sumber daya kelautan
Indonesia yang mahaluas ini. Sebetulnya, Indonesia ini lebih tepat
disebut “Negara Kelautan” daripada “Negara Kepulauan”, karena begitu
luas dan sumber daya kekayaan lautnya yang sangat melimpah. Tetapi,
ironisnya nelayannya malah hidup dalam kemiskinan. Justru di tangan
Susi-lah yang hanya tamat SMP, ada optimisme besar untuk keluar dari
persoalan yang sudah sedemikian lama berlangsung itu.
Ada juga
fakta lain yang paling aktual dari dalam negeri, yang membuktikan bahwa
seorang yang tidak berpendidikan tinggi pun mampu menjadi menteri yang
baik. Yaitu Dahlan Iskan, Menteri BUMN yang baru saja menyelesaikan masa
jabatannya seiring dengan berakhirnya masa jabatan SBY sebagai
Presiden. Latar belakang pendidikan Dahlan tidak berkaitan dengan BUMN,
dia juga tidak bergelar sarjana, dia putus kuliah di Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Ampel cabang Samarinda. Tetapi banyak orang yang mengakuinya
sebagai Menteri BUMN terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.
Jika
dianalogikan dengan dunia bisnis, bukankah banyak konglomerat kita juga
yang tidak berpendidikan tinggi, tetapi mempunyai sampai ratusan
perusahaan besar, sedangkan mereka yang berpendidikan jauh lebih tinggi
daripadanya, sampai lulusan luar negeri dari perguruan tinggi ternama
malah menjadi anak buahnya?
Anda
yang sarjana teknologi informasi dari perguruan tinggi ternama di mana
saja di dunia, dan merasa paling jago di bidang teknologi informasi,
internet, dan gadget, beranikah memandang rendah dan mengolok-olok
pendidikan dari Bill Gates (Microsoft), alm. Steve Jobs (Apple), dan
Mark Zuckerberg (Face Book)? Tiga orang terkaya di dunia ini semuanya
tidak punya gelar sarjana. Mereka putus kuliah, tetapi menjadi orang
paling kaya di dunia dari bisnis teknologi dan informasi, gadget, dan internet.
Dari
catatan Wikipedia: Kekayaan rata-rata miliarder yang berhenti kuliah,
yaitu $9,4 miliar, tiga kali lebih besar daripada miliarder dengan gelar
Ph.D., yaitu $3,2 miliar. Bahkan jika orang terkaya kedua di dunia,
Bill Gates, yang keluar dari Universitas Harvard dan memiliki kekayaan
$59,0 miliar, dikeluarkan dari daftar, para dropout masih
memiliki kekayaan rata-rata $5,3 miliar, dibandingkan dengan mereka yang
menyelesaikan studi S1-nya, yaitu $2,9 miliar. Menurut laporan terbaru
Forrester Research, 20% jutawan Amerika Serikat tidak kuliah.
Pengakuan terhadap Susi Pudjiastuti
Seorang
pakar manajemen sekelas Rhenald Kasali pun secara terus-terang mengakui
keunggulan Susi itu. Rhenald yang lulusan luar negeri (Amerika Serikat)
dengan gelar Phd manajemen, pendiri “Rumah Perubahan”, sudah puluhan
tahun terkenal seantero Nusantara bahkan sampai mancanegara, mengatakan
di artikelnya di Kompas.com tentang Menteri Susi Pudjiastuti: “Khusus tentang Susi, saya bukanlah mentornya. Ia terlalu hebat. Ia justru sering saya undang memberi kuliah. Dia adalah ‘self driver’ sejati, …” Dengan lapang dada, Rhenald mengaku, juga mendengar nasihat-nasihat Susi dalam cara mendidik mahasiswa-mahasiswanya di UI.
Di dalam artikelnya di Kompas.com itu Rhenald menulis penilaiannya tentang Susi Pudjiastuti, antara lain: “Dari
Susi, kita bisa belajar bahwa kehidupan tak bisa hanya dibangun dari
hal-hal kognitif semata yang hanya bisa didapat dari bangku sekolah.
Kita memang membutuhkan matematika dan fisika untuk memecahkan rahasia
alam. Kita juga butuh ilmu-ilmu baru yang basisnya adalah kognisi. Akan
tetapi, tanpa kemampuan nonkognisi, semua sia-sia.
Ilmu
nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi: faktor
pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar,
wirausaha kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal. Kemampuan bergerak,
berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan
baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran,
mampu membuka dan mencari “pintu” adalah fondasi penting bagi
pembaharuan, dan kehidupan yang produktif.”
Susi Pudjiastuti
sendiri sedikit pun tidak merasa minder dengan latar belakang
pendidikannya itu, dan tidak terpengaruh dengan olok-olokan itu. Dia
bahkan dengan berani menantang para pakar kelautan yang meragukan
kemampuannya itu.
“Kalau kesombongan
mereka itu bisa dibuktikan, saya akan ajak kerja sama,” kata Susi dalam
konferensi pers, di Gedung Mina Bahari III, Jakarta, Rabu (28/10/2014).
Susi juga mengatakan
akan lebih memilih menggandeng orang-orang lama di KKP, jika para pakar
atau ahli kelautan yang mencibir latar belakang akademiknya itu tidak
dapat membuktikan kepakaran mereka. “Kalau cuma koar-koar saja, saya
kira di KKP ini banyak orang yang sudah bekerja, and they are very excellent!” (Kompas.com).
Waktu juga yang akan
membuktikan siapakah yang benar dan berprestasi tinggi, Susi
Pudjiastuti-kah, atau mereka yang sekarang ini mengolok-olok dan
meremehkannya karena latar pendidikannya yang rendah itu.
Kepada
mereka yang berpendidikan tinggi, yang merasa pakar di bidangnya, tetapi
masih mengolok-olok pendidikan dan kemampuan Susi Pudjiastuti sebagai
Menteri Kelautan dan Perikanan, Rhenald Kasali menulis di artikelnya itu:
“Ketiga
orang itu mungkin tak sehebat Anda yang senang melihat kecerdasan orang
dari pendekatan kognitif yang bermuara pada angka, teori, ijazah dan
stereotyping. Tetapi saya harus mengatakan, studi-studi terbaru
menemukan, ketidakmampuan meredam rasa tidak suka atau kecemburuan pada
orang lain, kegemaran menyebarkan fitnah dan rasa benar sendiri, hanya
akan menghasilkan kesombongan diri.”
(di artikel itu,
Rhenald membahas tentang kehebatan tiga orang perempuan: Mooryati
Soedibyo, Dian Sastro, dan Susi Pudjiastuti).***
Tags: kabinetjokowijk
Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.
Siapa yang menilai tulisan ini?

KOMENTAR BERDASARKAN :
Tulis Tanggapan Anda
HEADLINE ARTICLES

Cerita Petani dan Buruh Tani Madiun …
Nanang Diyanto | | 09 November 2014 | 21:12

Jokowi Tunjuk Jaksa Agung Sekelas Baharuddin …
Ninoy N Karundeng | | 10 November 2014 | 09:43

Rayakan Ultah Ke-24 JNE bersama Kompasiana …
Kompasiana | | 31 October 2014 | 12:53

“Big Hero 6″: Duet Maut …
Geutrida Malthida | | 10 November 2014 | 08:10

Bagi Cerita dan Foto Perjalanan Indahnya …
Kompasiana | | 22 October 2014 | 17:59
TRENDING ARTICLES

Tolak Ahok Jadi Gubernur, Sekarang Juga …
Seneng | 3 jam lalu

Mbak Nurul Arifin, Tolong Ajari Menteri …
Hanna Chandra | 5 jam lalu

Islam Bukan Agama dan Agama Bukan Islam …
Fadli Zontor | 9 jam lalu

Unjuk Kekuatan Sukhoi Buat Apa? …
Pecel Tempe | 12 jam lalu

Tanggapan Atas Berita Tendensius Detiknews …
Yoez Altruism | 12 jam lalu
HIGHLIGHT

Online Guru Melek IT Pola 12 Hari …
Haryanto S.pd.i | 7 jam lalu

Menumbuhkan Semangat Belajar bagi Anak Usia …
Umi Salamah | 7 jam lalu

Senyum: Ojo Dumeh, Ojo Kagetan, Ojo Gumunan …
Jhon Torr Lambene | 7 jam lalu

Awas Bahaya Pohon Trembesi Sebagai Tanaman …
Sony Hartono | 7 jam lalu

4 November 2014 10:35:00
Well said, Pak Daniel!Laporkan Komentar
0
Balas
4 November 2014 21:11:58
@Matahari, terima kasih …Laporkan Komentar
0
Balas
4 November 2014 10:37:15
Banyak belajar dr Susi…. orang jd membuka mata…Laporkan Komentar
0
Balas
4 November 2014 21:12:40
Orang bermental “sarjana kertas” biasanya kalau dia bergelar, gengsi baginya untuk belajar dari orang yang tanpa gelar sarjana.Laporkan Komentar
0
Balas
4 November 2014 11:54:10
luar biasa! sangat mencerahkan. terima kasih Daniel.Laporkan Komentar
0
Balas
4 November 2014 21:13:00
Pencerahan kita dapat dari tokoh2 seperti Ibu Susi, Pak.Laporkan Komentar
0
Balas
4 November 2014 12:34:39
Uff…..puas sekali saya baca tulisan ini…Terima Kasih sudah Berbagi Pak Daniel, Salam Hangat
Laporkan Komentar
0
Balas
4 November 2014 21:13:23
Terima kasih juga buat Den, yang sudah mampir di sini.Laporkan Komentar
0
Balas
4 November 2014 13:28:38
Ahli ITB itu gak tau kali ya….klo ITB sendiri sudah pernah memberi penghargaan kepada bu SusiLaporkan Komentar
0
Balas
4 November 2014 21:14:02
Orientasinya hanya pada gelar akademik. Mengetahui Ibu Susi hanya tamat SMP, langsung dipandang remeh.Laporkan Komentar
0
Balas